KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman
Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding
Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota
Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren
Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy.
Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena
Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman
adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam,
tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki
penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak
negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan
Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas
penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan
mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori
sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para
penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya
menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak
diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi
tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia
mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren
dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan
pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas
Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal
tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena
sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial
manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara,
majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam
suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai
Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi
siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa
membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini
mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan
orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura
dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai
Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya.
Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut
namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya.
Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan
keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso
satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia
malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan
kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi,
“biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya
tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan
mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di
kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa
melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu
ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai
Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu
a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika
Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok
ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk
menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih
tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.
Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabandiyah
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya.
Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di
atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah
yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama
Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai
Utsman masih keturunan Sunan Giri.
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya.
Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di
atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah
yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama
Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai
Utsman masih keturunan Sunan Giri.
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori
putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah
Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman
berputra 13 orang.
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso
– Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng
Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan
Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat
Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri –
Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali
Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir –
Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As
Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali
Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal
sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas;
cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan
Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur.
Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai
Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya.
Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli
Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat
sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri
asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977),
beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota
metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai
Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya,
Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini
berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai
Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum
memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di
kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang
yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di
sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih.
Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya
raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan
sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang
lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri,
lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai
pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan
beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar,
penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses
pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya
yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya.
Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi
terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan
tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga
para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para
pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang
pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi
masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu
dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu
dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima
tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya
orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk
tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa
mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya
kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama
“orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya
rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan
diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai
Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak,
termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori
sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para
penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya
menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak
diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi
tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia
mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren
dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan
pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas
Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal
tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena
sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial
manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara,
majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam
suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai
Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi
siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa
membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini
mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan
orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura
dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai
Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya.
Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut
namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya.
Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan
keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu
tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti
kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai
Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya
jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat
mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum
al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian
luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang
wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh
langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni
sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga
kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata
“seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.”
Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori
(bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus
kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai
Asrori masih relatif muda, 30 tahun.
Sumber :
http://blog.its.ac.id/syafii/2009/08/30/mengenang-kh-ahmad-asrori-ustman-al-ishaqy-sang-mursyid-thoriqoh-qodiriyah-naqsabandiyyah
Hadhrotus Syaikh Ahmad Asrori Al-Ishaqy RA Wafat
Hadhrotus Syaikh Ahmad Asrori Al-Ishaqy RA wafat pada hari Selasa, 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB.
Berita Wafatnya Beliau Dari suaramerdeka.com 19 Agustus 2009 :
Perginya Ulama Apolitis
Pentakziah mengantarkan jenazah KH Asrori ke peristirahatan terakhir
Keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU) berduka. Salah satu ulamanya yang
bergiat di bidang thoriqoh, KH Asrori Al Ishaqi, Selasa (18/8) dinihari
meninggal dunia. Dia dikenal sebagai pemimpin Pondok Assalafi Al
Fithrah, di Jalan Kedinding Surabaya Utara.
”Beliau kiai karismatik dan istikamah menjaga amalan warga NU di bidang
tasawwuf dengan bergiat di thoriqoh,” kata Rois Syuriah PWNU Jatim, KH
Miftakhul Akhyar di Surabaya, kemarin.
Meninggalnya Kiai Asrori sungguh mengagetkan,mengingat usia kiai
thoriqoh ini belumlah terlalu tua. Yang bersangkutan dipanggil Yang Maha
Kuasa di usia 58 tahun. Kepergiaannya untuk menghadap Sang Khalik
membuat ribuan jamaahnya merasakan duka mendalam dan meneteskan air
mata. Saat dilangsungkan prosesi pemakaman di komplek pondoknya, umat
Islam menyemut dan melantunkan kalimah thoyyibah.
Tak ketinggalan karangan duka cita dari banyak tokoh nasional, Jatim,
dan Surabaya dikirimkan ke rumah duka. Di antaranya karangan bunga dari
Presiden SBY, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo,
Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bahrul Alam, Wali Kota Surabaya Bambang
Dwi Hartono, Wakil Wali Kota Surabaya Arief Afandi, dan pejabat lainnya.
Gubernur Soekarwo juga bertakziah ke rumah duka di kawasan Kedinding
Surabaya.
Siapa KH Asrori Al Ishaqi? Yang bersangkutan dikenal sebagai kiai NU
yang istikomah bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terkait peran
kiai melalui kanal thoriqoh. Kiai Asrori tak tergerus dalam gerakan
kemasyarakatan di ranah politik praktis sebelum maupun pascareformasi.
Jamaah thoriqoh terus dibina dan digerakkan ke tataran umat dalam
konteks memberikan bekal moral spiritual kepada umat Muhammad SAW.
”Fatwa dan pandangannya sangat dihormati serta dipatuhi umat. NU sangat
kehilangan sepeninggal beliau. Dunia thoriqoh terus digeluti dan
dijalankan dengan istikomah. Itu salah satu amalan penting NU dan
menjadi pembeda NU dengan ormas Islam lainnya,” tambah Kiai Miftakhul.
Anak KH Utsman
Kiai Asrori adalah anak KH Utsman. Aktivitas thoriqoh dijalaninya
sepeninggal ayahnya yang juga dikenal sebagai mursyid thoriqoh. Thoriqoh
yang dipimpin Kiai Asrori tak terkait dengan kekuatan politik mana pun.
Seperti ditulis dalam disertasi (S3) Machmud Sujuthi (mantan Kepala
Kanwil Depag Jatim) yang diterbitkan tahun 2001, pada buku berjudul
”Politik Tharekat”, disebutkan bahwa thoriqoh yang berpusat di Kedinding
Surabaya di bawah pimpinan KH Utsman tak berafiliasi dengan kekuatan
politik mana pun.
Dalam buku Machmud Sujuthi itu dikatakan bahwa setelah KH Mustain Romli
menyatakan merapat dan mendukung Golkar pascapemilu 1971, terjadi
pembelahan dunia thoriqoh di lingkungan NU. Ada jamaah thoriqoh Rejoso
yang berpusat di Pondok Darul Ulum Rejoso Jombang, dengan tokoh utama KH
Mustain Romli dan dekat dengan Golkar.
Di sisi lain, ada thoriqoh Cukir yang berpusat di Pondok Tebuireng
Jombang di bawah pimpinan KH Adlan Ali yang lebih dekat kepada Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Thoriqoh Kedinding—istilah di mana pondok
KH Utsman dan KH Asrori berlokasi—berada di antara 2 titik thoriqoh yang
berbau politik itu. Jamaah Kiai Asrori itu netral secara politik. Tak
ada hubungan kultural dan struktural dengan partai mana pun.
”Amalan thoriqoh Kiai Asrori itu sanad-nya sampai Syech Abdul Qodir Jaelani,” jelas Kiai Miftakhul.
Meninggalnya Kiai Asrori merupakan kehilangan besar bagi jamaah thoriqoh
di Indonesia dan mancanegara. Selain 1.800 santri yang menetap di
Pondok Al Fithrah di Kedinding, hakikatnya Kiai Asrori memiliki jutaan
umat dan jamaah setia di Indonesia dan banyak negara lain. Jamaah yang
dipimpin Kiai Asrori tersebar hingga ke Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, Hong Kong, Australia, dan banyak negara lain.
Pada acara pemakaman kemarin, banyak di antara jamaah hanyut dalam
suasana duka. Mereka melantunkan doa, tahlil, surat yasin, dan bacaan
thoyyibah di masjid areal ponpes. Maklum, Kiai Asrori dikenal sebagai
pimpinan Thoriqoh Qodiriyyah Wannaqsabandiyah Al Utsmaniyah.
Direktur Pendidikan Pondok Al Fithrah, Wisnubroto menyatakan, Kiai
Asrori meninggalkan seorang istri, Hj Sulistyowati, dan 5 anak, yakni
Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien, dan Siela
Assabarina.
Kiai Asrori meninggal sekitar pukul 02.00. Sebelumnya, sejak 29 Juli
sampai 16 Agustus 2009, sempat menjalani perawatan medis di Graha Amerta
RSU dr Soetomo Surabaya. Kiai Asrori mengidap kanker dan komplikasi
penyakit lainnya.
Di usia berapa Kiai Asrori meninggal dunia? Berdasar pengakuan salah
seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, Kiai Asrori memiliki 3
paspor dengan tanggal lahir berbeda. Tapi, diperkirakan yang
bersangkutan lahir pada 17 Agustus 1951.(G14-62)
Berita Wafatnya Beliau Dari suarasurabaya.net 18 Agustus 2009, 09:24:55 :
KH. ASRORI Pengasuh Ponpes Al-Fitrah Wafat
KH AHMAD ASRORI AL ISHAQI Pengasuh Ponpes AlFitrah bersama SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO saat berkunjung ke pesantrennya pada 28 Januari 2009
lalu
KH AHMAD ASRORI AL ISHAQI Pengasuh Ponpes Al Fitrah di Jl. Kedinding
Lor, Selasa (18/08) sekitar pukul 02.00 WIB wafat karena sakit. Sejak
pagi tadi ribuan warga dari dalam dan luar Surabaya datang melayat,
Mereka sudah mulai berdatangan di kawasan pondok pesantren Al-Fitrah.